Gak tau sejak kapan aku mulai berpikir kalau mati muda itu lebih baik. Kayaknya sejak aku tau kalau Yesus mati pas umur tiga puluh tiga. Mungkin pas aku SMP atau akhir SD. Seru aja kayaknya. Hidup gak usah lama-lama, yang penting berguna. Kayak Yesus, pokoknya. Yang pasti pikiran ini menguat sejak nonton film tentang Soe Hok Gie pas SMA dulu, dilanjutkan membaca tulisan-tulisannya.
Habis nonton Gie dan 3 Hari untuk Selamanya (yang kebetulan pemeran utamanya Nicholas Saputra semua, hehe), sempat terpikir apakah aku juga akan mati sekitar umur dua tujuh? Tapi sekarang umurku sudah dua sembilan, tuh.
Kalaupun benar aku akan mati muda, yang dari dulu gak pernah terbayang adalah gimana cara matinya. Disalib kayak Yesus? Ya gak mungkin. Mati di puncak gunung? Muncak aja gak pernah (dan gak suka ndaki) hahaha.
Eniwei,
Makin gede makin ngerti (gak sekedar tau), bahwa opsi mati itu ada banyak.
Tiga opsi yang dulu terasa gak nyata buatku tapi jadi sangat make sense sekarang adalah:
1. Mati bunuh diri. Yang keliatan jelas bunuh dirinya. Gantung diri, nembak kepala, minum racun, nenggak obat banyak-banyak.
2. Mati diam-diam bunuh diri. Sebenernya emang pengen menyudahi hidup, dan kemudian benar-benar menyudahinya tapi dengan cara yang gak kelihatan dan mungkin digerakkan alam bawah sadar. Bisa dengan kecelakaan, 'gak sengaja' over dosis, melakukan hal-hal berbahaya yang jelas bikin mati (termasuk gak ngerawat tubuh dan membiarkan penyakit), dan seterusnya. Gie, kupikir, termasuk golongan ini. Pun iya, bisa jadi dia juga melakukannya dengan kesadaran penuh, sih. Yesus juga.
3. Mati tapi tidak mati. Ada temanku yang mengaku bisa baca garis tangan. Pas kami kerja bareng, dia baca garis tangan semua anggota tim kecuali aku. Kutanya dia, kenapa gak baca tanganku. Katanya, dia gak mau baca orang yang gak siap tau. Bermodal pengamatan tiap dia baca garis orang, aku nyoba baca garisku sendiri. Kutanya lagi, kenapa garis hidupku putus di tengah. Apa aku akan mati muda? Jawabnya, Mati itu gak melulu mati fisik. Mati, bisa juga berarti mati jiwa. Bingung, aku pun bertanya maksudnya gimana. Gila, katanya. Tubuhnya doang yang hidup.
Oh life.
“Seorang filsuf Yunani pernah menulis; nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah yang berumur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.” - Soe Hok Gie